Oleh Hatim Ghazali
Pengajar, Tinggal di Jakarta
Full Day School yang diwacanakan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan menuai penolakan.
Begini tanggapan pengajar di Sampoerna University, Hatim Ghazali pada wacana full day school yang digagas Mendikbud yang dinilai aneh.
Pak Menteri, ada beberapa yang aneh menurutku terkait ide bapak.
1. Soal mall itu adalah jelas sekolah perkotaaan. Lha, sekolah-sekolah di pedesan, apalagi di daerah terluar dan terpencil.... gak ada mall pak. Yang ada, anak2 setelah sekolah bantuan bapak & emaknya bekerja di sawah / pasar / warung, dsb.
2. Asumsi dasar full day school ini menempatkan anak-anak kita sebagai anak-anak yang nakal, liar, sehingga sekolah menjadi barang ampuh mengatasinya.
3. Bagaimana nasib guru-guru, apakah juga full day? kasian mereka pak, karena mereka juga punya keluarga.
4. Koordinasi dulu deh dengan kementerian lain, misalnya, misalnya terkait dengan sekolah diniyah.
5. Bapak itu menteri pendidikan dan kebudayaan yang dalam asumsi saya, 1) pendidikan itu tidak hanya bernama sekolah, tetapi juga interaksi dengan lingkungan dan alamnya adalah bagian dari pendidikan, 2) adanya kata kebudayaan di kementerian bapak itu agar sekolah-sekolah tetap terkoneksi dengan kebudayaan, bukan memisahkan anak didik dari lingkungan dan alamnya.
6. Apakah implementasi pendidikan karakter hanya dapat ditempuh melalui full day itu? gak ada ide lain ya pak. Bisa-bisa, nyampe rumah langsung tepar, capek,
Pak Menteri, peningkatan kualitas SDM guru-guru seindonesia, perketat sistem sertifikasi sehingga benar-benar berkualitas, memperluas akses pendidikan seluas-luasnya bagi seluruh rakyat Indonesia melalui kartu Indonesia Pintar adalah agenda-agenda yang menurut saya lebih mendesak ketimbang full day school itu.
Atau bapak hanya caper....
Jika tetap lanjut dengan kebijakan ini, maka pilihan terbaik adalah pondok pesantren pak... Full 24 jam pak. Yuk Mondok biar keren.
(KBAswaja/Ibn Yaqzan)
0 Comments: