Headlines
Loading...
Mengandaikan Full Day School Dalam Seratus Hari

Mengandaikan Full Day School Dalam Seratus Hari

Oleh: Ubaidillah Achmad

Pendidikan, Arrahmah.co.id - Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Prof. Dr. Muhadjir Effendy, berencana memperpanjang waktu di sekolah. Artinya, akan menambah jam untuk belajar pendidikan karakter budi pekerti bagi anak anak bersama Guru di sekolah. Rencana ini telah dikatakan Muhadjir dalam konfrensi pers yang digelar di kawasan SCBD, Senayan, Jakarta, Selasa, 9 Agustus 2016. Yang menjadi persoalan, mengapa rencana ini didasarkan pada apa yang dia baca di Finlandia? Bukankah sebelum menerapkan kebijakan pendekatan dan metode full day school sebaiknya, melihat kawasan kearifan lokal yang sesuai dengan pendekatan dan metode yang akan diterapkan.

Hal yang tidak diperhatikan dari rencana ini, adalah pendekatan belajar di Finlandia yang telah disesuaikan dengan kondisi kearifan lokal Finlandia, namun belum mempertimbangkan kawasan kearifan lokal daerah-daerah di Indonesia.

Sikap Muhadjir yang fatal, adalah penegasannya kepada masyarakat yang disampaikan dalam konferensi pers di restoran Batik Kuring, Jakarta, 9 Agustus 2016, "Masyarakat harus mengkritik gagasan ini, jangan sampai keputusan sudah saya buat kemudian merasa tidak cocok." Saya katakan fatal, karena sudah seharusnya menteri sebelum merencanakan kebijakan melakukan penelitian (research) terkait dengan setiap kebijakan yang akan dikeluarkan oleh kementerian. Hal yang ironi, Muhadjir justru menuntut masyarakat mengkritik kebijakannya.

Ini artinya, sebuah kebijakan cukup hanya dengan mengandai, bahwa jika ada sebuah kesalahan kebijakan, maka masyarakat yang seharusnya disalahkan dan di tekan untuk mengkritisinya, karena semua ini telah dikatagorikan akibat dari sikap rakyat. Benarkah rakyat menjadi penyebab kesalahan kebijakan Muhadjir apabila full day school mengalami kesalahan. Sehubungan dengan konferensi pers Muhadjir ini menunjukkan, bahwa dengan keberlangsungan atau tidaknya sebuah kebijakan kementerian akan tergantung pada masyarakat. Muhadjir juga dengan ringan mengatakan, jika kebijakan tentang full day school belum dapat dilaksanakan, maka dengan mudah akan ditariknya.

Bersamaan dengan sebuah pengandaian Muhadjir menegaskan, bahwa full day school dapat membantu guru mendapatkan tambahan jam mengajar 24 jam per mingg. Hal ini dapat digunakan oleh para Guru sebagai syarat untuk mendapatkan sertifikasi guru. Tentu saja, tidak lama setelah konferensi pers, berita pengandaian ini tersebar luas ke jejaring social, karena menjadi sebuah konfernesi yang menarik, yaitu sebuah pengandaian kebijakan full day school yang masuk dalam forum khusus konferensi pejabat setingkat menteri.

Dalam konteks yang sama, saya kembali diingatkan sebuah gaya kepemimpinan dan kekhasan Dr. H. Anies Baswedan, yang juga sebagai Menteri Pendidikan Nasional sebelum Muhadjir. Anies telah banyak menampilkan sikap yang bersahaja, memuji perjuangan para guru, dan para siswi siswi yang berada di kawasan terpencil, namun belum bisa mengeluarkan kebijakan yang berimplikasi langsung dalam peningkatan kualitas mutu pendidikan bangsa Indonesia. Pada akhirnya, sistem lembaga pendidikan bangsa Indonesia masih berjalan seperti sebelumnya. Semula saya apresiasi terhadap sikap Anis Baswedan, namun dalam perkembangannya lebih banyak bersajak tentang pendidikan Masyarakat.

Sehubungan dengan fenomena ini, kiranya dapat dipahami dari sebuah pertanyaan, apa yang menjadi kekhasan Anis Baswedan yang berimplikasi pada dunia pendidikan? Jawabannya, Anis Baswedan sosok akademisi yang berakhlak mulia, ia bersikap baik kepada guru dan mengagumi para peserta didik yang gigih belajar meski berada di desa terpencil. Hal ini, juga sangat dirasakan beberapa teman dosen setiap mendengar nama Anis Baswedan, mereka membalas dengan membaca sajak, "Oh, dan Wahai para Guru." Selamat untuk Anis Baswedan, jasamu bersikap baik terhadap Bapak dan Ibu Guru tidak akan terlupakan oleh masyarakat Indonesia.

Sikap seperti inilah yang akan menjadi fundasi etika anak bangsa, agar bersikap baik kepada Bapak dan Ibu Guru. Sedangkan, bagaimana persoalan kebijakan yang berdampak luas kepada pendidikan bangsa? Untuk menjawab pertanyaan ini sangat dibutuhkan dari kemampuan peran Presiden memilih orang yang tidak saja bermoral tinggi, namun juga mampu mengeluarkan kebijakan cerdas untuk menjadikan sistem lembaga pendidikan anak bangsa yang berkualitas dan mampu membangun keseimbangan psikis dan kepribadian serta mempotensikan intelektualitas bangsa Indonesia.   

Sehubungan dengan ingatan saya terhadap Anies yang diangkat melalui kebijakan presiden RI Bapak Ir. H. Joko Widodo, yang mulai menjabat sejak 20 Oktober 2014, Prof. Muhadjir juga memiliki tipologi yang sama, yaitu sosok yang santun dan berhati hati, sehingga sebelum mengeluarkan kebijakan tentang sistem pembelajaran yang ideal, beliau telah mengandaikan terlebih dahulu. Misalnya, kasus full day school yang telah mendapatkan respon banyak praktisi pendidikan dan banyak pengelola pesantren dan madrasah diniyah yang berang. Namun karena kesopanan dan sikap kehati hatian Muhadjir, ia kembali mundur dari sebelum merencanakan full day scholl dengan tidak merasakan kesulitan, karena kebijakannya ini masih berbentuk sikap kebijakan yang mengandaikan sistem pendidikan Finlandia bisa berlangsung di Indonesia. 

Bersamaan dengan pengandaian dari Prof Muhadjir ini, terlepas ia sengaja atau tidak sengaja, adalah sebagai bentuk pengandaian kebijakan yang bersifat main main. Alasannya, karena sistem kurikulum pendidikan bangsa Indonesia sudah sangat padat, mengapa harus full day school? Mengapa sebelum menawarkan pendekatan dan cara pendampingan kepada anak bangsa harus menjadikan Finlandia sebagai kawasan studi? Mengapa bukan kawasan studi yang berada di Indonesia yang memiliki ragam dan corak budaya yang beragam?

Dengan kawasan studi yang berada di negera sendiri, maka akan menemukan model pendekatan yang akan dapat disesuaikan dengan kearifan lokal. Tidakkah penting mengangkat kebijakan yang sesuai dengan kearifan lokal bangsa Indonesia? Apakah karena meniru sistem Finlandia tidak bid’ah, namun karena mengacu kearifan lokal bangsa Indonesia malah menjadi bid’ah? Muhadjir perlu memahami, para Kiai dan santri di Indonesia itu suka membuat bid’ah yang bersumber dari kearifan local. Karenanya, dalam pengandaian Muhadjir yang terkejut pertama, justru para Kiai dan Santri di desa yang sekarang ini masih berbasis madrasah dan pesantren.

Jadi, pengandaian kebijakan dengan mengacu pada sistem belajar full day school ala Finlandia merupakan contoh kebijakan yang tidak ramah terhadap kondisi fisik dan mental anak, sekaligus juga merusak sistem pendidikan madrasah. Full day school akan menyamaratakan pada semua siswa dalam konteks penanganan pendampingan yang sama. Dari semua siswa sepulang dari sekolah formal sudah dapat dibaca, mereka akan memiliki selera yang berbeda beda. Misalnya, ada selera yang berbasis pesantren dan madrasah, hobi olah raga, musik, istirahat, bermain, dan lai sebagainya. Kesemua selera ini akan terganggu dengan adanya realisasi sebuah pengandaian full day school. Berapa biaya yang diperlukan untuk menyediakan hobi dan selera pasca sekolah menjadi bertempat di sekolah. Hal ini tidak cukup hanya dilihat dari sertifikasi guru.

Secara psikologis, sistem full day school tidak akan membuat nyaman para siswa, sebab sistem full day school akan memberlakukan full model yang monoton dan menjenuhkan, karena berada dalam satu area pembelajaran yang tidak berubah suasana dan pemandangan alamiah. Misalnya, sehari full dengan seragam yang sama, model guru yang sama, lokasi area yang sama, wajah teman yang sama, model pendekatan salah seorang guru yang sama. Semua isi full day school akan diseragamkan dengan model yang sama daan penuh dengan sistem formalitas sekolah.

Dalam konteks bercanda, bahwa dunia pendidikan dan pengembangan kepribadian hanya milik Menteri Pendidikan dan Kebudayaan. Sedangkan, yang lain bukanlah lingkungan yang baik, karena tidak ada m sertifikasi, seragam pendidikan, dan terkait langsung dengan kebijakan menteri pendidikan dan kebudayaan.

Berbeda dengan sistem belajar setengah hari, para siswa bebas memilih pilihan bersama orang tua, apakah akan memilih madrasah di sore hari? atau memilih mengaji al quran sesudah bakda maghrib di mushalla atau di Masjid? ataukah memilih mendatangkan pendamping private untuk mematangkan kemampuan siswa dan siswi. Dengan model pendidikan formal seperti sekarang saja, Madrasah di desa desa sudah sepi. Yang mengherankan kenakalan remaja justru semakin meningkat, saya tidak tahu, apakah fenomena sudah tercatat dari riset kebijakan kementerian pendidikan dan kebudayaan?

Yang jelas, selain siatem full day school berdampak terhadap psikis anak, juga akan merusak tradisi lokal masyarakat
pesantren di desa, yang telah berlangsung dengan sistem pembelajaran keberagamaam ala Madrasah Diniyah. Dalam konteks yang lebih luas, kebijakan sistem full day school akan mematikan tenaga pendamping private dan lembaga lembaga kursus di luar sekolah. Jika sistem full day school diterapkan, berarti juga membutuhkan tenaga guru yang lebih banyak lagi.

Jika pengandaian full day school bertujuan untuk pendidikan karakter, maka Muhadjir perlu mempertimbangkan kembali model kearifan lokal dalam membentuk karakter subjek.  Dalam kondisi apa pun membentuk karakter anak negeri tidak bisa merujuk lokal wisdom Finlandia. Karenanya, perlu mengkaji local wisdom versi Nusantara (Jawa).

Sehubungan dengan pendidikan karakter versi nusantara dapat dipahami dari kerangka dasar masyarakat nusantara yang lebih mementingkan modeling. Teori modeling sebenarnya, sudah masuk dalam kajian psikologi modern di Barat. Berbeda dengan modeling perspektif psikologi barat, dalam psikologi sufistik menegaskan, bahwa modeling adalah adanya proses pembentukan kepribadian yang dilakukan oleh seorang model yang  memiliki keseimbangan unsur psikis dan kesempurnaan kepribadian.

Modeling dalam tradisi pesantren bukan sekedar menampilkan seorang guru yang bersedia mengajar dengan sertifikasi, namun seorang guru yang merelakan pendampingan tanpa memperdulikan hal hal seperti yang disebut dengan sertifikasi, namun benar benar ingin mencapai jejak kenabian tanpa cendera mata. Semua manusia memerlukan harta, namun tidak menjadi tujuan mereka yang sudah mencapai modeling dalam tradisi pesantren. Model ini masih sulit ditemukan di dalam pendidikan formal.

Modeling dalam tradisi pesantren, telah tercermin dari model para guru madrasah, yang digaji tidak cukup untuk membeli sabun dan bensin selama mengajar. Mereka ini telah mencukupi kebutuhannya dari sumber di luar pembelajaran di Madrasah. Sementara itu, Prof Muhadjir mengandaikan full day school dengan target mempernudah sertifikasi guru. Bukankah, lebih baik Profesor bekerja sama dengan para guru Madrasah dengan merekomendasikan, agar orang tua menyekolahkan putra putrinya pasca dari sekolah formal dengan konsekuensi memberikan support anggaran untuk pengembangan Madtasah Diniyah.

Meskipun demikian, Profesor tidak bisa memaksakan seluruh siswa siswi masuk di madrasah pada sore hari, karena di antara mereka ada yang hobi musik, olah raga. Karenanya, sekali lagi dengan mengandaikan full day schol, akan merusak selera anak anak negeri kita pasca sekolah formal. Bukankah kebijakan Profesor yang mengandaikan sesuatu yabg merusak kearifan lokal, lebih baik dengan membuat kebijakan, model bimbingan belajar yang berkualitas, agar masuk di desa desa, sebab selama ini, bimbingan belajar hanya ada dikota.

Dalam konteks yang sama, profesor bisa memberikan support lembaga lembaga yanng telah serius memberikan dampingan belajar kepada anak. Atau dengan memberikan anggaran kepada sekolah untuk membuka model dampingan full daya school yang tidak mengikat para siswa, sehingga apabila ada anak yang diwajibkan mengikuti full day school untuk konteks bermain hisa dilaporkan ke lembaga pengawas sekolah. Meskipun demikian, kita semua boleh mengandaikan sebuah impian, karena semua bisa bermula dari mimpi.

Penulis, Khadim Majlis Kongkow As Syuffah Sidorejo Pamotan Rembang, Suluk Kiai Cebolek Dan Islam Geger Kendeng Dalam Konflik Ekologis Dan Rekonsiliasi Akar Rumput

0 Comments: