News
NKRI Harga Mati
Mengamankan NKRI Adalah Wasilah Agung Dakwah Islam
“Dan (ingatlah), ketika Ibrahim berkata: "Ya Tuhanku, jadikanlah negeri ini (Mekah), negeri yang aman, dan jauhkanlah aku beserta anak cucuku daripada menyembah berhala-berhala.” (QS. Ibrahim: 35)
Demikian salah satu pesan berharga dari ceramah KH Abdullah Saad Surakarta dalam acara Maulid Nabi dan Manaqib Kubro Syeikh Abdul Qodir al-Jailany XVI bertajuk "Napak Tilas Para Pewaris Nabi di Nusantara" di Pondok Pesantren Darul Arofah, Keciput, Kec. Sijuk, Kab. Belitung, Babel, pada Sabtu (19/11/2016) malam.
Hadir dalam acara di pesantren yang diasuh KH Ali Haris tersebut, antara lain, H Sahani Saleh S.Sos (Bupati Belitung), Drs. Irwandi A. Rani (Wakil Bupati Belitung), Taufiq Rizani A.Md (Ketua DPRD Belitung), Letkol Kaveleri Eko Saptono Kristyanto, S.E (Dandim Belitung) dan jajaran Muspida setempat.
Di hadapan 4 ribuan hadirin, kiai Saad berpesan agar tetap menjaga persatuan dan mencintai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) karena akhir-akhir ini, katanya, seolah-olah ada pihak yang menginginkan negara Indonesia ambruk, bubrah, remuk sehingga dakwah Islam otomatis terganggu.
“Anda tidak akan bisa menyampaikan ukhuwah, tarbiyah dan ta’dib kepada umat kalau negara ini tidak aman,” tegas Kiai Saad yang saat itu menggantikan Maulana Habib Lutfhi bin Yahya karena sedang ada acara mendadak dan tidak bisa ditinggalkan.
Adanya acara maulid dan manaqib di Darul Arofah Belitung disebut oleh Kiai Saad sebagai bagian dari menjalin persatuan umat. Dengan maulid, akan tumbuh rasa cinta kepada Rasulullah, yang akhirnya bisa melahirkan keimanan.
Kiai yang juga alumnus madrasah TBS Kudus ini menegaskan, untuk mencapai keimanan, umat Islam pertama-tama harus cinta kepada kepada Nabi Muhammad Saw, dzurriyah Nabi, baru kemudian meraih iman bersama Al-Qur’an. "Itu kurikulum yang sangat penting," katanya.
Menanamkan cinta kepada utusan Allah sebelum Al-Qur’an itu adalah pola pendidikan Nabi yang dipraktikkan kepada para sahabat. Dalam kitab Ihya Ulumuddin karya Imam al-Ghazali tertulis pengakuan para sahabat begini: “Kami adalah para sahabat Rasul yang diberikan iman dulu sebelum Qur'an. Dan akan datang suatu masa dimana ada orang pintar Al-Quran tapi belum punya iman.”
Pengakuan di atas adalah sindiran bagi mereka yang terburu-buru mengaku memiliki iman, sebagai pembela Al-Qur’an namun tidak paham isinya. “Kalau cinta kepada Al-Quran didahulukan, maka ia bisa dianggap bacaan-bacaan biasa saja,” terang Kiai Saad.
Ia mengibaratkan hal itu dengan seorang yang bangkrut hartanya, lalu karena pusing, ia membaca Al-Quran untuk mencari solusi hingga sampai pada ayat yang bermakna, “Dan orang yang disempitkan rezekinya (bangkrut), hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah. (QS. Ath-Ttholaq: 7)”.
Walaupun ia memiliki kebiasaan rutin membaca Al-Qur’an 30 juz, namun jika ia tidak memiliki iman, Al-Qur’an lah yang akan disalahkan karena menurut rasio normal, dalam situasi bangkrut, tidak mungkin harus memberikan infaq sedekah hartanya kepada orang lain. Itu justru akan meningkatkan kebangkrutannya.
Tapi bagi mereka yang memiliki iman, ayat itu akan dimaknai sebagai cara Allah memberikan imbalan bagi mereka yang menyayangi makhluknya. “Sayangilah makhluk di bumi, maka engkau akan disayangi makhluk yang ada di langit.” (Hadits). Sedekah kepada makhluk, akan dibalas Allah dengan lebih baik. Sudah bangkrut, namun ikhlash bersedekah, ia akan dijanjikan kembali ke keadaan yang lebih baik. Inilah manfaat iman sebelum mengenal Al-Qur’an.
“Sebelum Quran, cintailah Rasul dulu. Itu syarat wujud iman,” kata Kiai Saad. Karena itulah, imbuhnya, setiap pengajian yang menghadirkan Maulana Habib Luthfi, diharuskan ada pembacaan maulid.
Jika orang sudah kenal dan iman kepada Rasulullah, hatinya akan mudah mengenal Allah melalui Al-Qur’an. “Orang tidak akan bisa kenal Al-Qur’an kalau hatinya tidak syuhud kepada nur muhammadin, yakni hadratut tafsil atau hadratul muhammadiyah,” terang Kiai Saad. “Karena akhlaq Nabi adalah Al-Qur'an,” tambahnya.
Mendahulukan penanaman cinta kepada Nabi sebelum mengenal Qur’an inilah yang menurut Kiai Saad bisa digunakan untuk memperbaiki kondisi umat di akhir zaman yang sudah terpuruk.
Ia mengutip pendapat Imam Maliki, “la yashluhu akhiru hadzihil ummah, illa bima sholaha bihi awwaluha/ tidak akan ada yang pernah bisa ndandani (memperbaiki) keadaan akhir umat ini terkecuali dengan konsep yang ada pada awal umat ini (Cinta Nabi dulu, baru Al-Quran),” tegasnya.
Di akhir ceramah, Kiai Saad berpesan untuk menjaga negara ini agar tetap bisa dijadikan wasilah agung menggelar ajaran agama Islam dari Rasulullah Saw., “jaga bumi ini, bumi pertiwi ini, dengan cara menjaga diri ini menjadi manusia yang tahu membayar hak, jadi hamba yang sholeh,” tandasnya.
“Kalau satu daerah banyak orang kafir, tapi perbuatannya sholeh, kepada orang tua baik, kepada tetangga baik, kepada masyarakat baik, kepada istri baik, dijaga untuk tidak dihancurkan oleh Allah. Tapi sebaliknya, banyak orang-orang Islam tapi mendzolimi sesama, membunuh sesama Islam, akan dihancurkan oleh Allah,” terang Kiai Saad mengutip Tafsir Qurthuby.
Sumber: Dutaislam.com/ ab
Editor: Ibn Yaqzan
0 Comments: